Minggu, 24 April 2016

Kisah Romantis

Hujan dan Bintang                   
Kau tahu hujan? Hujan adalah moment yang paling menyenangkan. Saat berlari di bawah hujan, kau akan merasakan dingin menyejukkan. Sangat menyejukkan. Tidakkah kau merasa nyaman ketika hujan memeluk tubuhmu? Ketika kau menangis, hujan akan mengusap air matamu. Hujan juga tak pernah menyebar rahasiamu. Dia sangat setia, namun dia datang hanya sesaat. Tak heran, aku selalu menanti kehadirannya, hanya sekedar melepas rindu maupun menceritakan seluruh keluh kesahku padanya. Seperti anak kecil memang, namun bagaimana lagi aku sangat suka hujan. Namaku Reinata Maulynda gadis pencinta hujan. Aku bekerja sebagai pengantar koran, sederhana hanya untuk mengisi waktu luang sebelum kuliah. Aku kuliah jurusan ekonomi tepatnya di Universitas Indonesia. Aku gadis cerewet dan tomboy. Temanku dominan laki-laki. Aku sering battle game dengan sahabatku Ade, Adesan Prayoga. Sahabat sejak SMA dulu, dia lelaki yang berjambul badai. Dia memiliki lesung pipi, matanya sipit dan bibirnya yang tipis. Memiliki kesan eksotis jika dipandang. Wajar saja aku gadis normal.
Pagi itu, aku harus mengantar koran ke beberapa kompleks perumahan. Di kompleks 3C, tepatnya di rumah nomor 23, ada sebuah motor gede yang tiba-tiba muncul dari teras dan melaju sangat kencang ke arahku. Dia memakai helm teropong yang kacanya gelap.  Aku yang kaget tidak bisa menghindarinya dan parahnya aku terguling ke trotoar yang bahan utamanya dari batu taman. Akibatnya, tangan dan lutut kaki kiriku tergores hingga menimbulkan bercak darah dan lebam merah keunguan. Aku hanya bisa meringis dan berusaha duduk di trotoar. Kulihat sepeda ku terguling dan koran-koran berhamburan. Dari ekor mataku aku menyadari ada seseorang yang berjalan ke arahku. Aku melihatnya, dia lelaki berwajah coklat dan memasang raut muka bingung. Dia membenarkan letak sepedaku dan mengambil koran-koran yang berhamburan. Dia menawarkan bantuan setelah mengatakan bahwa rumahnya berada tepat di belakangku. Dengan sungkan aku menerima bantuannya, dia membantu mengobati lukaku dan membalutnya dengan kassa. Setelah beres dengan luka, dia mengambil segelas air putih untuk menenangkanku. Dia berkata bahwa dia sering melihatku mengirim koran tapi yang menerima selalu satpamnya. Dia memperkenalkan diri, “Hmm.. Namaku Reno. Reno Dirmaga, kamu?” aku menjawab seraya menjabat tangannya, “ Rein. Reinata Maulynda” dia tersenyum, lalu bertanya apakah salah satu dari koran yang berhamburan tadi adalah korannya. Aku hanya menggeleng, sebab koran yang tadi jatuh sudah kotor dan tak pantas dijual kepada pelanggan. “Koran ini tidak pantas di jual. Lihat saja, dia terkena cipratan air dan sedikit lusuh.” Dia menatap ke keranjang sepedaku, “Benar saja, lalu mau kau apakan koran ini?” tanyanya sambil menautkan alis. “Mungkin nanti uangnya kuganti dan tidak mengirim koran untuk hari ini.” Jawabku sambil mengedikkan bahu. Dia hanya manggut-manggut. Setelah menghabiskan segelas air putih aku berpamitan untuk pulang. Saat kucoba berdiri, lututku terasa nyeri. Reno menyadari hal itu lalu memegang lenganku, “Kau yakin akan pulang dengan keadaan seperti ini?” aku hanya mengangguk sambil memegangi pahaku. Dia menuntunku ke terasnya, tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas bantuannya. Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan seraya mengucapkan hati-hati.
Langit hitam telah tiba, bintang bertaburan merata. Bulan dengan percaya diri menampakkan cahaya terangnya. Aku duduk di ayunan sambil memandang langit. Seperti kebiasaan Ade ketika bintang bertaburan. Mataku menerawang kejadian tadi pagi. Saat Reno memberi bantuan kepadaku. Sangat manis. Jantungku berdegup kencang, lengkungan tipis membentuk di bibirku. Aku tersadar dan menggeleng, kenapa harus dia yang aku bayangkan. Tidak, tidak kamu baru kenal tadi pagi Rein. Ponselku bergetar tanda ada pesan, kulihat layar refleks aku tersenyum. Ade. Dimana, R? Tanyanya, dengan cepat aku menjawab. Di singgasana menanti pangeran berkuda datang. Terkirim. Tak ada semenit dia membalas. Dasar jomblo. Pangeran berkuda otewe, R. Aku hanya tersenyum dan meletakkan ponselku. Memandang langit lagi, entah mengapa aku seperti memandangnya. Terlihat dekat namun terasa jauh. Sebenarnya aku memendam perasaan pada Ade sejak pertama masuk SMA. Kesannya dingin, cuek dan macho. Tapi sayang dia sudah memiliki pujaan hati yang lebih menarik dari seorang penjual koran. Dia menjadi sahabat yang lucu, kocak dan sangat peduli. Saat aku asik membayangkannya, tiba-tiba ada tangan yang dingin menutup mataku. Harum daun mint menyeruak di hidungku. Tentu saja tanpa harus bertanya aku tahu siapa dalang dari semua ini. “Ade, lepasin gih.” Dia hanya tertawa lalu duduk di sebelahku, sambil memberikan kantong plastik. Martabak manis, aku sangat suka martabak manis. Aku tersenyum, “Terimakasih, De.” Dia hanya mengangguk lalu memandang ke arah langit. Seharusnya aku sadar, hujan dan bintang tak akan hadir bersamaan.
Di lain sisi, Ade juga menyimpan sebuah rahasia besar. Menyimpan perasaan kepada gadis pujaannya. Dia selalu menceritakannya kepada Rein. Namun, Rein tak pernah sadar topik pembicaraan mereka adalah dirinya sendiri. Ade bingung, dia harus mengode bagaimana lagi. Dia sudah menjelaskan deskripsi tentang  gadis pujaannya itu. Persis dengan apa yang ada pada diri Rein. Namun, Rein tak pernah menyadari itu. Ade selalu menghela nafas pelan setelah bercerita. Dia melihat seorang gadis mungil duduk di ayunan belakang sambil memandang ke arah langit yang memang sedang bertabur bintang. Ade suka sekali pada bintang, mengingatkan pada seseorang di masalalunya. Ade menghela nafas lalu menghampiri Rein. Ade menutup matanya dengan satu  tangan. Satu tangan lagi memegang kantong plastik yang berisi martabak manis, Rein sangat suka dengan martabak manis. Aroma vanilla tercium saat Rein berada di dekatnya. ”Ade, lepasin gih.” Ade hanya tersenyum lalu duduk di sebelah Rein dan memberikan kantong plastik tadi. “Terimakasih, De” ucap Rein sambil tersenyum. Ade yang melihat senyumnya, aku tersenyum dan mengangguk. Ade memandang langit hitam. Moment menyenangkan adalah memandang langit yang sedang bertabur bintang ditemani gadis mungil yang ada di sisiku saat ini, batin Ade. Jam delapan lebih seperempat, Ade pamit pulang. Rein mengantarnya ke teras dan menutup pintu. Rein berbaring di kasurnya. Setelah beberapa menit, dia tertidur pulas.
Tiga minggu berlalu, aku kembali mengantarkan koran. Tetap ke beberapa kompeks. Tepat di depan rumah nomor 23, berdiri seorang laki-laki yang melambaikan tangan dan tersenyum  lebar kepadaku. Aku balas melambaikan tangan kepadanya, akhir-akhir ini aku dan Reno semakin dekat. Tepat aku berhenti di depannya, dia mengucapkan selamat pagi. Aku menjawab sambil memberikan koran, setelah itu aku pamit. Hanya dibalas dengan senyuman. Akhir-akhir ini kami sering ngetrip, kita suka suhu dingin dan suka air. Menurutku air itu sumber penenang. Saat aku bercerita tentang Reno, Ade langsung mendadak diam. Dia memang cuek, kecuali dengan orang terdekatnya. Malah sangat cerewet. Aku bingung, padahal Ade juga sering bercerita tentang gadis pujaannya yang entah namanya siapa.  Dan kudengarkan sampai selesai,  walau hatiku tersayat. Tapi saat aku bercerita tentang Reno, dia malah cuek dan tak acuh. Padahal Reno adalah teman baruku.
Sebulan berlalu, aku semakin sering mengunjungi air terjun, pantai dan mendaki gunung bersama Reno. Juga semakin dingin sikap Ade padaku, entah apa alasannya. Dia juga jarang mengunjungiku. Aku semakin bingung padanya. Sore itu, aku tak tahan untuk menanyakan apa yang salah dengan sikap Ade. Aku menuju rumahnya dan menyapa pak Tono. Tanpa mengetuk pintu aku membukanya, seperti biasa. Saat kubuka, disana Ade memunggungiku dan sedang bermesraan dengan gadis lain. Entah mereka melakukan apa yang jelas saling berhadapan. Saking asiknya, Ade tak menyadari kehadiranku. Si wanita tadi melihat ke arahku, begitu juga Ade. Aku tak sadar airmataku sudah banjir di pipiku. Aku berbalik badan, mengelap kasar airmataku dan berlari begitu saja tanpa menghiraukan tariakan pak Tono begitupun teriakan Ade. “Rein, kamu salah  paham.” Salah paham katanya, jelas dia menikmatinya, dia bilang salah paham, cih. Jadi ini alasan dia menghindar, karena pujaan hatinya sudah didapatkan. Aku terus berlari sedikit lagi sampai. Bodoh, kenapa kau menangis di depannya. Bagaimana kalau dia tahu kalau kau suka padanya? Dasar Rein bodoh, batinku. Saat aku sampai di depan rumah kulihat Ade tetap berlari. Aku membuka gerbang dan membuka pintu rumah, menutupnya dengan kasar. “Ada apa atuh non?” kata bik Ipah dengan raut wajah bingung. Aku hanya berlari ke kamarku. “Kalau ada Ade jangan ijinin masuk bik!” teriakku lalu membanting pintu dan merebahkan diri di kasurku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ade tergopoh-gopoh membuka pintu rumah Rein, namun dihalangi oleh bik Ipah. “Bik, Rein di dalam kan? Saya mau ngomong bentar, bik” “Tapi den, non Reinnya lagi gak mau diganggu.” “Bentar aja, bik. Saya mau jelasin semuanya.” “Den sama non lagi tengkar ya?” “Bukan bik, Reinnya salah paham.” “Tapi den, den tahu sendirilah kalo non Rein gak mau diganggu ya gak mau.” “Iyasih bik, tapi gimana jelasinnya. Nanti dikira aku gak ada usaha lagi.” “Yaudah nanti aja kalo non Rein udah agak baikan, baru den datang kesini jelasin semuanya” “Yaudah lah bik, nitip Rein ya.” Setelah itu Ade pamit pulang dan berjalan ke arah rumahnya sambil melamun. Tak sadar di depannya ada pengendara mobil yang mabuk menyetir dengan ugal-ugalan. Semenit sebelum kejadian dia sadar dan berteriak sambil menutup matanya. BRAAAAKKK.. Rein merasa mendengar teriakan Ade, tapi tak  mungkin lah dia tadi sayup-sayup mendengar obrolan Ade dengan bik Ipah. Matanya berat karena menangis cukup lama. Akhirnya dia tertidur.
Malamnya tepat jam tujuh lebih tiga aku terbangun. Ade hadir di mimpiku. Namun, dia jatuh ke jurang. Mungkin ini efek kejadian tadi sore. Aku mungkin terlalu egois karena tidak mendengarkan penjelasannya. Aku pergi mandi dan akan bergegas ke rumah Ade. “Eh, non udah bangun. Cepetan ke rumah sakit gih non, tadi den Ade ketabrak mobil setelah pamit darisini.” DEG. Berarti tadi bener terikan Ade. Aku langsung mengambil jaket dan bertanya dengan tegesa-gesa “Dimana rumah sakitnya, bik?” “Di Husada Bunda atuh, neng. Jangan keburu-buru atuh.” “Yaudah bik pamitin ke mama ya” aku langsung berlari masuk mobil tapi masih terdengar teriakan bik Ipah, “Hati-hati, non. Gak usah kebut-kebutan.”
Aku mamakirkan mobilku, berlari kecil menuju resepsionis dan bertanya di mana ruangan pasien yang bernama Adesan Prayoga. Dia bilang dia masih dirawat di UGD. Dan masih ditangani oleh dokter. Aku berlari ke UGD dan menabrak beberapa orang yang ada di depanku. Dari kejauhan aku melihat ruang tunggu, di sana terlihat seorang  wanita duduk. Wanita itu adalah wanita yang tadi berada di rumah Ade. Dia menyadari kehadiranku, menatap sejenak lalu tersenyum manis. Aku hanya tersenyum sinis dan berjalan menuju pintu. Di sana terlihat seorang pria terkapar lemah dan dikelilingi oleh beberapa orang berseragam putih. Tak terasa airmataku menggenang. Wanita tadi memegang pundakku, aku menepisnya kasar. Dia terlonjak kaget lalu dia menjelaskan bahwa dia adalah saudaranya Ade. Aku refleks menoleh ke arahnya dengan mulut sedikit menganga. Dia tersenyum tipis lalu bercerita. Aku mendengarkan dengan ditemani tangisanku. Setelah bercerita aku hanya menunduk. Ini semua salahku. Wanita tadi bernama Kenarya Dirmaga. Kakak dari Reno. Ternyata Reno dan Ade adalah saudara. Tapi mengapa Ade selalu malas mendengarkan curhatanku tenatang Reno.
Dua jam berlalu, dokter keluar dari ruangan dengan dahi yang basah. Lalu aku dan kak Kena berdiri dan menanyakan bagaimana kabar Ade. Dokter menjelaskan bahwa Ade akan sadar beberapa jam lagi, dia hanya butuh istirahat. Kepalanya terbentuk cukup keras. Aku melihat ke arah Ade yang terbaring lemas. Dokter mengijinkan kami untuk masuk asalkan tidak membuat keributan. Aku mengelus pelan pipinya. Dia terlihat tenang. Aku tak tahan melihatnya lemah seperti ini, setetes air mataku jatuh. Lama-lama makin deras, bahuku naik turun. Kak Kena mengelus pundakku lembut. Aku berbalik dan menangis di pelukannya. Tercium aroma tanah dan aku kenal sebentar lagi akan turun hujan. Aku manghapus air mataku  dan beranjak ke jendela. Terlihat gerimis datang dengan tenang. Jendela mulai mengembun tipis, aku memegang jendela. Dingin. Dingin yang kurasa. Hujan mulai datang dengan deras. Air mataku turun lagi. Untuk pertama kali aku tak suka hujan.
Aku duduk di sisi ranjang Ade dengan kepala bertumpu pada kedua lenganku. Mataku terfokus pada wajahnya. Kenapa dia tak kunjung membuka mata. Sekarang sudah jam sebelas lewat tiga. Lama-lama mataku berat dan aku tertidur. Terasa ada tangan yang memegang pipiku lembut, kak Ken, pikirku. “Rein.” Suara berat ini aku kenal, tidak mungkin aku hanya mimpi. “Rein.” Lagi, suara itu muncul lagi. Aku membuka mata dan melihat ada tangan yang memegang pipiku. Aku memegang tangan iku, seiring dengan mengangkat kepalaku. Kesadaranku tiba-tiba penuh.”Ade, kau sudah sadar” teriakku sambil memeluknya. Ade meringis kesakitan, “Kau memelukku terlalu erat, R.” Aku hanya memint maaf dan memencet saklar. Kak Kena bangun sambil mengucek mata, “Maaf aku sudah membangunkan kakak.” Dia melihat ke arah Ade, lalu tersenyum lebar “Kau sudah bangun, De” dia lalu menghambur memeluk Ade, “Aduh  kak, sakit” erang Ade. Dokter datang lalu memeriksa keadaan Ade. Setelah itu dokter menjelaskan bahwa besok siang Ade sudah boleh pulang. Aku kegirangan. Dia menatap lembut tepat di bola mataku. Aku salah tingkah lalu menunduk. “Ehem. Rasanya aku ingin buang air. Aku akan ke kamar mandi sebentar.” Kata kak Kena. Setelah pintu tertutup, Ade menggenggam tanganku. Aku menatapnya, dia tetap menatap bola mataku. Aku tersipu. “Kenapa wajahmu merah? Apa pangeran kuda mebuatmu tersipu?” godanya. Aku memukul lengannya pelan. Lalu mimiknya kembali serius, jantungku berdegup sangat kencang. “Kamu salah paham, Rein.” Dia menyebutkan namaku, itu tandanya dia benar-benar serius. Aku hanya menunduk. Aku tahu, bodoh. Batinku. “Kau tahu dia adalah kakak dari Reno. Dia sangat baik kepadaku. Sangat berbeda dengan Reno. Ya, lelaki itu sangat benci padaku. Dan aku juga sangat benci padanya.” “Kenapa? Padahal dia saudaramu, kenapa kau tak pernah cerita?”, potongku. “Dulu aku punya sahabat kecil yang bernama Naira. Dia sepertimu, dia juga suka hujan. Dulu kami bertiga suka hujan. Suka berlarian di bawah hujan. Sebelum kejadian itu terjadi.”, Ade bercerita sambil matanya menerawang, dia menghembuskan nafasnya pelan lalu melanjutkan cerita, “Saat itu kami main petak umpet di bawah hujan. Aku jadi yang jaga. Reno dan Naira bersembunyi. Saat aku menghitung, satu,dua,tiga, terdengar suara sesuatu yang jatuh. Aku menghentikan hitunganku dan berbalik. Kedua temanku sudah bersembunyi. Saat aku hendak mencari, terdengar suara Reno yang berteriak.  Aku berlari menemui Reno dan Naira. Reno sudah menangis. Lalu aku bingung dan menyakan apa yang terjadi. Kau tahu apa yang terjadi?” tanyanya kepadaku, aku hanya menggeleng. “Naira sudah jatuh ke sungai dan dia tak bergerak sekalipun. Aku menanyakan kenapa bisa terjadi. Reno berfikir lama, lalu menjawab bahwa Naira terpeleset. Aku tak curiga sedikitpun sampai di pemakaman Naira. Reno terlepas omongan kepada teman-temanya. “Aku mendorongnya ke sungai dengan tanganku, bagaimana? Aku hebat kan?” aku mendengarnya lalu beranjak dari dudukku menghampirinya lalu memukul tepat di pipinya. Dia bingung ,tak terima lalu aku berteriak “Kau pembunuh!” mukanya langsung bingung dan dia membawaku menjauh. Dia menjelaskan bahwa dia terinspirasi dari film dan ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa dia hebat. Setelah kejadian itu aku muak pada Reno, dan mulai saat itu aku tidak suka hujan. Aku pulang dan duduk di atap rumahku, langit bertabur bintang. Bintang mengingatkanku pada Naira. Mulai saat itu aku suka melihat bintang. Dan saat kau cerita tentang teman barumu yang bernama Reno aku muak mendengarnya. Dan aku benar-benar muak setelah mengetahui bahwa Reno yang kau maksud adalah Reno Dirmaga. Seorang pembunuh.” Dia terlihat emosi saat menyebutkan nama Reno. “Jadi, gadis pujaanmu itu sahabat kecilmu yang bernama Naira itu?” tanyaku dengan polos. Reno langsung berbalik menatapku, lalu tertawa lebar. “Sampai kapan kau tidak peka, R? Gadis itu jelas gadis yang sedang menunggu pangeran kudanya.” Jawabnya sambil senyum menggoda. Aku hanya tersipu. “Jadi? Bagaimana?” tanyanya sambil menautkan alis. Aku hanya mengerutkan kening, “Bagaimana apanya?”. Dia tersenyum lalu menarik nafas dalam-dalam, “Bagaimana apa kau mau menjadi kekasih pangeran kudamu ini?” aku hanya tersipu tak langsung menjawab. “Diam berarti jawaban iya.” Godanya sambil tersenyum. Lalu dia memelukku.

Cerpen Horor



Paranoid
Namaku Rena, anak dari orang sederhana dan memiliki seorang kakak laki-laki. Aku bisa disebut gadis supel karena mudah bergaul. Aku juga orangnya bisa cuek dan aku percaya cerita soal hantu itu benar adanya.
Pagi itu entah mengapa banyak sekali kegiatan yang aku lakukan. Dan banyak juga tugas yang diberikan oleh guru dan yang paling pusing aku punya pacar. Ribet sih memang, tapi dia menyenangkan. Bukan menyenangkan tapi sangat menyenangkan. Dia bernama Reno mirip dengan namaku kan, ya mungkin kita jodoh wkwkwk. Dia sangat membantu dan memiliki banyak waktu luang untukku.
Tak terasa sampai sore aku marathon tugas ini. Akibatnya leher, mata, tangan dan otakku terasa sangat lelah. Ingin rasanya mandi untuk menghilangkan rasa penat ini. Saat aku mandi da berkaca, entah mengapa aku menjadi parno. Seakan-akan ada yang mengawasiku mandi. Dengan cepat aku mengguyur tubuh dan keluar dari kamar mandi.
Adzan magrib berkumandang, segera kuambil wudlu dan menunaikan solat. Setelah solat, kulupakan prasangka burukku tadi. Mungkin itu hanya efek lelah. Kualihkan perhatianku dengan membaca novel sambil berbaring. Sungguh, saat aku berbaring punggungku terasa sangat nyaman sekali. Satu menit, dua menit, setengah jam, mataku mulai berat. Akhirnya aku pergi ke alam mimpi. Namun, aku masih bisa merasakan kehadiran ibuku, mengambil novelku, memakaikan selimut dan mematikan lampu, lalu beliau berbaring di sisiku.
Di alam mimpi aku bertemu dengan pria bertopi koboi, memakai jaket tebal dan memakai boot. Dia berambut ikal, berkumistebal dan berhidung mancung. Kulitnya putih albino. Tetapi ada satu yang janggal, matanya. Matanya sangat tajam menatap ke arahku. Aku mulai berkeringat, parno dia akan memutilasiku seperti di film psikopat. Dia maju selangkah bertepatan saat aku mundur selangkah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pisau daging –entahdarimana- dan mengangkatnya tepat di samping kepala. Kemudian dia berlari ke arahku dan berteriak. Refleks akupun ikut lari. Di sana aku melihat Reno yang juga berlari. Aku menyamakan jangkahku dan berlari di sebelahnya. Tapi sayangnya dia menginjak tali sepatunya dan tersungkur dengan mulus. Aku yang mulai kawatir, berhenti dan menghampiri Reno, walaupun lelaki koboi tadi berjarak sekitar 100m dari temapatku sekarang. Aku hendak membantunya berdiri, tapi tuhan berkehendak lain. Penyakit asmanya kambuh, disaat seperti ini dia harus berbaring. Dia menyuruhku untuk berlari dan membiarkannya di sana. Aku hanya menenggeng. Tapi dia menggertakku untuk segera berlari karena pria koboi semakin dekat. Dengan parno akupun menurut apa yang dia katakan dan segera berlari. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga menemukan pemukiman. Kusadari pria koboi tadi sudah tak lagi mengejarku.
Aku berjalan menyusuri pemukiman warga. Aku membeli sebuah minuman di warung terdekat. Aku meneguknya sampai tetes terakhir, dari ekor mataku kusadari ada yang mengamatiku. Aku menoleh ke kanan, di sana ada anjing Labrador yang melihat garang ke arahku. Aku melihat kanan kiri namun semua warga telah lenyap, bahkan ibu yang menjual minuman tadi. Aku melangkah perlahan-lahan, mata anjing itu tetap fokus dan mengikuti pergerakanku. Sampai aku terpojok di sudut ruangan, dia semakin mendekat dan bersiap-siap untuk menerkamku. Saat dia loncat dengan rahang terbuka lebar tiba-tiba aku terbangun dari mimpi buruk ini. Dahiku basah karena keringatku dan jantungku berdegup kencang.
Saat kuambil ponselku, di layar tertera jam 00:13. Sial aku pasti akan terjaga dan parahnya baterai ponselku ini tinggal 20%. Akhirnya kuletakkan kembali ke tempatnya dan melirik ibuku yang tertidur pulas. Entah mengapa suhu ruangan yang sebelumny panas mendadak dingin, sangat dingin. Hingga aku menggigil dan gigiku gemeletuk sangat kencang. Aku mencoba untuk tidur, mungkin saja nanti tubuhku menghangat.
Saat aku memejamkan mataku, aku membayangkan di jendela sebelahku ada yang mengawasiku, tapi kupaksakan untuk menutup mata. Aku mulai parno. Mataku ingin membuka, tapi kupaksakan untuk tetap menutup. Semakin aku mencoba menutup mata, semakin besar pula keinginanku untuk membuka mata. Dahiku semakin basah karena keringat dingin dan jantungku berdegup kencang –lagi-. Akhirnya kubuka mataku, tapi tak kuarahku ke jendela. Mataku terfokus ke pintu lemariku. Lalu ada bayangan yang janggal di tengah almari. Tepatnya pada cermin. Cermin itu memantulkan bayangan jendela. Tepat di tengah jendela ada bayangan putih yang bermuka hitam. Dahiku mulai berkeringat lagi, dadaku naik turun. Suhunya terasa sangat dingin dan perutku mulas. Aku mengambil ponselku dan mencari ayat kursi. Kubaca dengan jantung berdegup kencang. Setelah kubaca aku melihat ke cermin, disana hanya ada bayangan di jendel, dia –bayanganputih- sudah hilang. Akhirnya aku menghembuskan nafas lega, entah sejak kapan aku menahan nafas.
Saat aku hendak memejamkan mata, bayangan putih itu muncul kembali. Kali ini lebih dekat dengan jendela dan dia menyeringai. Jantungku berdegup sangat kencang, hingga gendang telingaku mendengarnya. Nafasku tercekat, tenggorokanku kering. Aku ingin berteriak namun suaraku tak kunjung keluar. Tanganku yang ingin menggapai tangan ibuku yang berada tepat di sebelahkupun terasa berat. Mataku terfokus padany yang sedang menyerinagi lebar. Tak terasa pipiku sudah basah akibat keringat dan air mataku. Setelah beberapa menit aku mentapnya aku mengalihkan pandangan ke ibuku. Aku menangis sampai sesenggukan, mungkin ibuku merasa terganggu, beliau terbangun dan berbalik mengarahkan pandangannya kepadaku. Beliau terlihat bingung –kawatir- dari sorot matanya. “Kamu kenap Ren?”, tanyanya sambil mengusap dahiku. Aku hanya menangis lebih kencang –tapitakmengeluarkansuara- dan menunjuk ke jendela. Ibuku melihat ke arah jendela dan menatapku bingung, “Ada apa? Kau ingin aku menutupnya?” aku hanya menggeleng lemah. Ibuku semakin bingung dan mulai penasaran. “Lalu?” desaknya, aku menarik nafas dan mulai menjawab sambil sesenggukan, “Disana ada yang menatapku daritadi” ibuku melihat jendela lagi, “Tak ada apa-apa di sana Ren. Mungkin kau hanya mimpi buruk, nak” aku menggeleng lalu melihat ke jendela, dia tetap di sana. Lalu ibuku berdiri menyalakan lampu, dia menghilang. Lalu ibuku mematikan lampu dia tetap di sana. Aku menatap ke jendela tak berkedip dengan mulut sedikit menganga. Ibuku yang menyadari lalu berkata, “Sini tidurlah di pelukanku.” Aku menurut dan mendekat lalu aku tidur di pelukannya. Ibuku mengusap dahiku yang basah, lalu menyelimutiku dan mendekapku. Hangat dan nyaman yang kurasakan. Akhirnya akupun tertidur.
Keesokan paginya badanku terasa pegal semua, kepalaku berdenyut dan berputar-putar, mataku berkunang-kunang dan suhu tubuhku tinggi. Di dahiku tertempel lap basah yang terlipat rapi. Aku terkena demam. Aku mencoba untuk berdiri tapi sia-sia karena mual. Kuputuskan untuk tidur kembali. Saat mataku terpejam, aku merasakan ada tangan yang menempel di dahiku. Ya, beliau ibuku. Beliau membawa teh hangat, lalu menyuruhku untuk meneguknya hingga habis agar aku berkeringat. Setelah meneguk habis, aku memutuskan untuk istirahat.
Tak terasa saat aku bangun matahari akan kembali ke peraduannya. Suhu tubuhku sudah menurun. Aku mengamati langit-langit kamarku yang dipenuhi sticker bintang berwarna neon. Aku mengingat kejadian tadi malam, kuputuskan untuk membasuh muka dan makan. Setelah makan aku sayup-sayup mendengarkan obrolan ayah dan ibuku. “Sepetinya Rena tidak kuat melihatnya. Sekarang dia demam.”, kata ibuku. “Yasudah katakan padanya, kalau itu kembarannya. Sudah saatnya dia tahu.” “Ya, kembaran yang selalu berada di sisinya setiap saat.”, kata ibuku. Aku hanya menelan ludah dan merasa tengkukku dingin.

Tak Pernah Pantas



Tak Pernah Pantas
Dia datang lagi
Setelah mengantarku ke jurang ini
Jurang yang penuh duri penyesalan
Dan penuh asa yang tenggelam

Dia datang lagi
Setelah menabur garam tepat di luka ini
Luka yang menganga lebar
Perih.. perih yang kurasakan

Dia datang lagi
Setelah menggores duka yang dalam
Lalu mengulang kata maaf
Manis.. sangat manis memang

Kau datang dan pergi sesuka hatimu
Camar menertawakan kebodohanku
Mendung mengintip dibalik awan hitam
Angin berhembus menyapa kepedihanku
Hujan hadir memeluk lukaku
Seharusnya aku sadar
Kita tak pernah pantas bersatu

Hanya Dapat



Hanya dapat
Hanya dapat kupandang
Senyum indah bak malaikat
Hanya dapat kudengar
Tawa riang menyejukkan
Hanya dapat kupendam
Teriakan memuja kesempurnaan
Sang Arjuna ciptaan tuhan
Hanya dapat kutahan
Perihnya luka, dinginnya sikapmu
Jauh... kita sangat jauh
Tak akan bisa menyatu
Menjadi ikatan yang diagungkan
Lengkingan burung camar menertawakanku
Di atas penantian ini
Mereka tidak mengerti
Betapa perihnya menahan luka ini
Mereka tidak mengerti
Sesak didada melihatnya bersama bidadari
Aku menunggu kisah cinta ini
Tanpa adanya wujud harapan yang dinantikan