Paranoid
Namaku Rena,
anak dari orang sederhana dan memiliki seorang kakak laki-laki. Aku bisa
disebut gadis supel karena mudah bergaul. Aku juga orangnya bisa cuek dan aku
percaya cerita soal hantu itu benar adanya.
Pagi itu entah
mengapa banyak sekali kegiatan yang aku lakukan. Dan banyak juga tugas yang
diberikan oleh guru dan yang paling pusing aku punya pacar. Ribet sih memang,
tapi dia menyenangkan. Bukan menyenangkan tapi sangat menyenangkan. Dia bernama
Reno mirip dengan namaku kan, ya mungkin kita jodoh wkwkwk. Dia sangat membantu
dan memiliki banyak waktu luang untukku.
Tak terasa
sampai sore aku marathon tugas ini. Akibatnya leher, mata, tangan dan otakku
terasa sangat lelah. Ingin rasanya mandi untuk menghilangkan rasa penat ini.
Saat aku mandi da berkaca, entah mengapa aku menjadi parno. Seakan-akan ada
yang mengawasiku mandi. Dengan cepat aku mengguyur tubuh dan keluar dari kamar
mandi.
Adzan magrib
berkumandang, segera kuambil wudlu dan menunaikan solat. Setelah solat,
kulupakan prasangka burukku tadi. Mungkin itu hanya efek lelah. Kualihkan
perhatianku dengan membaca novel sambil berbaring. Sungguh, saat aku berbaring
punggungku terasa sangat nyaman sekali. Satu menit, dua menit, setengah jam,
mataku mulai berat. Akhirnya aku pergi ke alam mimpi. Namun, aku masih bisa
merasakan kehadiran ibuku, mengambil novelku, memakaikan selimut dan mematikan
lampu, lalu beliau berbaring di sisiku.
Di alam mimpi
aku bertemu dengan pria bertopi koboi, memakai jaket tebal dan memakai boot. Dia berambut ikal, berkumistebal
dan berhidung mancung. Kulitnya putih albino. Tetapi ada satu yang janggal,
matanya. Matanya sangat tajam menatap ke arahku. Aku mulai berkeringat, parno
dia akan memutilasiku seperti di film psikopat. Dia maju selangkah bertepatan
saat aku mundur selangkah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pisau daging
–entahdarimana- dan mengangkatnya tepat di samping kepala. Kemudian dia berlari
ke arahku dan berteriak. Refleks akupun ikut lari. Di sana aku melihat Reno
yang juga berlari. Aku menyamakan jangkahku dan berlari di sebelahnya. Tapi
sayangnya dia menginjak tali sepatunya dan tersungkur dengan mulus. Aku yang
mulai kawatir, berhenti dan menghampiri Reno, walaupun lelaki koboi tadi
berjarak sekitar 100m dari temapatku sekarang. Aku hendak membantunya berdiri,
tapi tuhan berkehendak lain. Penyakit asmanya kambuh, disaat seperti ini dia
harus berbaring. Dia menyuruhku untuk berlari dan membiarkannya di sana. Aku
hanya menenggeng. Tapi dia menggertakku untuk segera berlari karena pria koboi
semakin dekat. Dengan parno akupun menurut apa yang dia katakan dan segera
berlari. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga menemukan pemukiman. Kusadari
pria koboi tadi sudah tak lagi mengejarku.
Aku berjalan
menyusuri pemukiman warga. Aku membeli sebuah minuman di warung terdekat. Aku
meneguknya sampai tetes terakhir, dari ekor mataku kusadari ada yang
mengamatiku. Aku menoleh ke kanan, di sana ada anjing Labrador yang melihat
garang ke arahku. Aku melihat kanan kiri namun semua warga telah lenyap, bahkan
ibu yang menjual minuman tadi. Aku melangkah perlahan-lahan, mata anjing itu
tetap fokus dan mengikuti pergerakanku. Sampai aku terpojok di sudut ruangan,
dia semakin mendekat dan bersiap-siap untuk menerkamku. Saat dia loncat dengan rahang
terbuka lebar tiba-tiba aku terbangun dari mimpi buruk ini. Dahiku basah karena
keringatku dan jantungku berdegup kencang.
Saat kuambil
ponselku, di layar tertera jam 00:13. Sial aku pasti akan terjaga dan parahnya
baterai ponselku ini tinggal 20%. Akhirnya kuletakkan kembali ke tempatnya dan
melirik ibuku yang tertidur pulas. Entah mengapa suhu ruangan yang sebelumny
panas mendadak dingin, sangat dingin. Hingga aku menggigil dan gigiku gemeletuk
sangat kencang. Aku mencoba untuk tidur, mungkin saja nanti tubuhku menghangat.
Saat aku
memejamkan mataku, aku membayangkan di jendela sebelahku ada yang mengawasiku,
tapi kupaksakan untuk menutup mata. Aku mulai parno. Mataku ingin membuka, tapi
kupaksakan untuk tetap menutup. Semakin aku mencoba menutup mata, semakin besar
pula keinginanku untuk membuka mata. Dahiku semakin basah karena keringat
dingin dan jantungku berdegup kencang –lagi-. Akhirnya kubuka mataku, tapi tak
kuarahku ke jendela. Mataku terfokus ke pintu lemariku. Lalu ada bayangan yang
janggal di tengah almari. Tepatnya pada cermin. Cermin itu memantulkan bayangan
jendela. Tepat di tengah jendela ada bayangan putih yang bermuka hitam. Dahiku
mulai berkeringat lagi, dadaku naik turun. Suhunya terasa sangat dingin dan
perutku mulas. Aku mengambil ponselku dan mencari ayat kursi. Kubaca dengan
jantung berdegup kencang. Setelah kubaca aku melihat ke cermin, disana hanya
ada bayangan di jendel, dia –bayanganputih- sudah hilang. Akhirnya aku
menghembuskan nafas lega, entah sejak kapan aku menahan nafas.
Saat aku
hendak memejamkan mata, bayangan putih itu muncul kembali. Kali ini lebih dekat
dengan jendela dan dia menyeringai. Jantungku berdegup sangat kencang, hingga
gendang telingaku mendengarnya. Nafasku tercekat, tenggorokanku kering. Aku
ingin berteriak namun suaraku tak kunjung keluar. Tanganku yang ingin menggapai
tangan ibuku yang berada tepat di sebelahkupun terasa berat. Mataku terfokus
padany yang sedang menyerinagi lebar. Tak terasa pipiku sudah basah akibat
keringat dan air mataku. Setelah beberapa menit aku mentapnya aku mengalihkan
pandangan ke ibuku. Aku menangis sampai sesenggukan, mungkin ibuku merasa
terganggu, beliau terbangun dan berbalik mengarahkan pandangannya kepadaku.
Beliau terlihat bingung –kawatir- dari sorot matanya. “Kamu kenap Ren?”,
tanyanya sambil mengusap dahiku. Aku hanya menangis lebih kencang
–tapitakmengeluarkansuara- dan menunjuk ke jendela. Ibuku melihat ke arah
jendela dan menatapku bingung, “Ada apa? Kau ingin aku menutupnya?” aku hanya
menggeleng lemah. Ibuku semakin bingung dan mulai penasaran. “Lalu?” desaknya,
aku menarik nafas dan mulai menjawab sambil sesenggukan, “Disana ada yang
menatapku daritadi” ibuku melihat jendela lagi, “Tak ada apa-apa di sana Ren.
Mungkin kau hanya mimpi buruk, nak” aku menggeleng lalu melihat ke jendela, dia
tetap di sana. Lalu ibuku berdiri menyalakan lampu, dia menghilang. Lalu ibuku
mematikan lampu dia tetap di sana. Aku menatap ke jendela tak berkedip dengan
mulut sedikit menganga. Ibuku yang menyadari lalu berkata, “Sini tidurlah di
pelukanku.” Aku menurut dan mendekat lalu aku tidur di pelukannya. Ibuku
mengusap dahiku yang basah, lalu menyelimutiku dan mendekapku. Hangat dan
nyaman yang kurasakan. Akhirnya akupun tertidur.
Keesokan
paginya badanku terasa pegal semua, kepalaku berdenyut dan berputar-putar,
mataku berkunang-kunang dan suhu tubuhku tinggi. Di dahiku tertempel lap basah
yang terlipat rapi. Aku terkena demam. Aku mencoba untuk berdiri tapi sia-sia
karena mual. Kuputuskan untuk tidur kembali. Saat mataku terpejam, aku
merasakan ada tangan yang menempel di dahiku. Ya, beliau ibuku. Beliau membawa
teh hangat, lalu menyuruhku untuk meneguknya hingga habis agar aku berkeringat.
Setelah meneguk habis, aku memutuskan untuk istirahat.
Tak terasa
saat aku bangun matahari akan kembali ke peraduannya. Suhu tubuhku sudah
menurun. Aku mengamati langit-langit kamarku yang dipenuhi sticker bintang
berwarna neon. Aku mengingat kejadian tadi malam, kuputuskan untuk membasuh
muka dan makan. Setelah makan aku sayup-sayup mendengarkan obrolan ayah dan
ibuku. “Sepetinya Rena tidak kuat melihatnya. Sekarang dia demam.”, kata ibuku.
“Yasudah katakan padanya, kalau itu kembarannya. Sudah saatnya dia tahu.” “Ya,
kembaran yang selalu berada di sisinya setiap saat.”, kata ibuku. Aku hanya menelan
ludah dan merasa tengkukku dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar