Minggu, 24 April 2016

Cerpen Horor



Paranoid
Namaku Rena, anak dari orang sederhana dan memiliki seorang kakak laki-laki. Aku bisa disebut gadis supel karena mudah bergaul. Aku juga orangnya bisa cuek dan aku percaya cerita soal hantu itu benar adanya.
Pagi itu entah mengapa banyak sekali kegiatan yang aku lakukan. Dan banyak juga tugas yang diberikan oleh guru dan yang paling pusing aku punya pacar. Ribet sih memang, tapi dia menyenangkan. Bukan menyenangkan tapi sangat menyenangkan. Dia bernama Reno mirip dengan namaku kan, ya mungkin kita jodoh wkwkwk. Dia sangat membantu dan memiliki banyak waktu luang untukku.
Tak terasa sampai sore aku marathon tugas ini. Akibatnya leher, mata, tangan dan otakku terasa sangat lelah. Ingin rasanya mandi untuk menghilangkan rasa penat ini. Saat aku mandi da berkaca, entah mengapa aku menjadi parno. Seakan-akan ada yang mengawasiku mandi. Dengan cepat aku mengguyur tubuh dan keluar dari kamar mandi.
Adzan magrib berkumandang, segera kuambil wudlu dan menunaikan solat. Setelah solat, kulupakan prasangka burukku tadi. Mungkin itu hanya efek lelah. Kualihkan perhatianku dengan membaca novel sambil berbaring. Sungguh, saat aku berbaring punggungku terasa sangat nyaman sekali. Satu menit, dua menit, setengah jam, mataku mulai berat. Akhirnya aku pergi ke alam mimpi. Namun, aku masih bisa merasakan kehadiran ibuku, mengambil novelku, memakaikan selimut dan mematikan lampu, lalu beliau berbaring di sisiku.
Di alam mimpi aku bertemu dengan pria bertopi koboi, memakai jaket tebal dan memakai boot. Dia berambut ikal, berkumistebal dan berhidung mancung. Kulitnya putih albino. Tetapi ada satu yang janggal, matanya. Matanya sangat tajam menatap ke arahku. Aku mulai berkeringat, parno dia akan memutilasiku seperti di film psikopat. Dia maju selangkah bertepatan saat aku mundur selangkah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pisau daging –entahdarimana- dan mengangkatnya tepat di samping kepala. Kemudian dia berlari ke arahku dan berteriak. Refleks akupun ikut lari. Di sana aku melihat Reno yang juga berlari. Aku menyamakan jangkahku dan berlari di sebelahnya. Tapi sayangnya dia menginjak tali sepatunya dan tersungkur dengan mulus. Aku yang mulai kawatir, berhenti dan menghampiri Reno, walaupun lelaki koboi tadi berjarak sekitar 100m dari temapatku sekarang. Aku hendak membantunya berdiri, tapi tuhan berkehendak lain. Penyakit asmanya kambuh, disaat seperti ini dia harus berbaring. Dia menyuruhku untuk berlari dan membiarkannya di sana. Aku hanya menenggeng. Tapi dia menggertakku untuk segera berlari karena pria koboi semakin dekat. Dengan parno akupun menurut apa yang dia katakan dan segera berlari. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga menemukan pemukiman. Kusadari pria koboi tadi sudah tak lagi mengejarku.
Aku berjalan menyusuri pemukiman warga. Aku membeli sebuah minuman di warung terdekat. Aku meneguknya sampai tetes terakhir, dari ekor mataku kusadari ada yang mengamatiku. Aku menoleh ke kanan, di sana ada anjing Labrador yang melihat garang ke arahku. Aku melihat kanan kiri namun semua warga telah lenyap, bahkan ibu yang menjual minuman tadi. Aku melangkah perlahan-lahan, mata anjing itu tetap fokus dan mengikuti pergerakanku. Sampai aku terpojok di sudut ruangan, dia semakin mendekat dan bersiap-siap untuk menerkamku. Saat dia loncat dengan rahang terbuka lebar tiba-tiba aku terbangun dari mimpi buruk ini. Dahiku basah karena keringatku dan jantungku berdegup kencang.
Saat kuambil ponselku, di layar tertera jam 00:13. Sial aku pasti akan terjaga dan parahnya baterai ponselku ini tinggal 20%. Akhirnya kuletakkan kembali ke tempatnya dan melirik ibuku yang tertidur pulas. Entah mengapa suhu ruangan yang sebelumny panas mendadak dingin, sangat dingin. Hingga aku menggigil dan gigiku gemeletuk sangat kencang. Aku mencoba untuk tidur, mungkin saja nanti tubuhku menghangat.
Saat aku memejamkan mataku, aku membayangkan di jendela sebelahku ada yang mengawasiku, tapi kupaksakan untuk menutup mata. Aku mulai parno. Mataku ingin membuka, tapi kupaksakan untuk tetap menutup. Semakin aku mencoba menutup mata, semakin besar pula keinginanku untuk membuka mata. Dahiku semakin basah karena keringat dingin dan jantungku berdegup kencang –lagi-. Akhirnya kubuka mataku, tapi tak kuarahku ke jendela. Mataku terfokus ke pintu lemariku. Lalu ada bayangan yang janggal di tengah almari. Tepatnya pada cermin. Cermin itu memantulkan bayangan jendela. Tepat di tengah jendela ada bayangan putih yang bermuka hitam. Dahiku mulai berkeringat lagi, dadaku naik turun. Suhunya terasa sangat dingin dan perutku mulas. Aku mengambil ponselku dan mencari ayat kursi. Kubaca dengan jantung berdegup kencang. Setelah kubaca aku melihat ke cermin, disana hanya ada bayangan di jendel, dia –bayanganputih- sudah hilang. Akhirnya aku menghembuskan nafas lega, entah sejak kapan aku menahan nafas.
Saat aku hendak memejamkan mata, bayangan putih itu muncul kembali. Kali ini lebih dekat dengan jendela dan dia menyeringai. Jantungku berdegup sangat kencang, hingga gendang telingaku mendengarnya. Nafasku tercekat, tenggorokanku kering. Aku ingin berteriak namun suaraku tak kunjung keluar. Tanganku yang ingin menggapai tangan ibuku yang berada tepat di sebelahkupun terasa berat. Mataku terfokus padany yang sedang menyerinagi lebar. Tak terasa pipiku sudah basah akibat keringat dan air mataku. Setelah beberapa menit aku mentapnya aku mengalihkan pandangan ke ibuku. Aku menangis sampai sesenggukan, mungkin ibuku merasa terganggu, beliau terbangun dan berbalik mengarahkan pandangannya kepadaku. Beliau terlihat bingung –kawatir- dari sorot matanya. “Kamu kenap Ren?”, tanyanya sambil mengusap dahiku. Aku hanya menangis lebih kencang –tapitakmengeluarkansuara- dan menunjuk ke jendela. Ibuku melihat ke arah jendela dan menatapku bingung, “Ada apa? Kau ingin aku menutupnya?” aku hanya menggeleng lemah. Ibuku semakin bingung dan mulai penasaran. “Lalu?” desaknya, aku menarik nafas dan mulai menjawab sambil sesenggukan, “Disana ada yang menatapku daritadi” ibuku melihat jendela lagi, “Tak ada apa-apa di sana Ren. Mungkin kau hanya mimpi buruk, nak” aku menggeleng lalu melihat ke jendela, dia tetap di sana. Lalu ibuku berdiri menyalakan lampu, dia menghilang. Lalu ibuku mematikan lampu dia tetap di sana. Aku menatap ke jendela tak berkedip dengan mulut sedikit menganga. Ibuku yang menyadari lalu berkata, “Sini tidurlah di pelukanku.” Aku menurut dan mendekat lalu aku tidur di pelukannya. Ibuku mengusap dahiku yang basah, lalu menyelimutiku dan mendekapku. Hangat dan nyaman yang kurasakan. Akhirnya akupun tertidur.
Keesokan paginya badanku terasa pegal semua, kepalaku berdenyut dan berputar-putar, mataku berkunang-kunang dan suhu tubuhku tinggi. Di dahiku tertempel lap basah yang terlipat rapi. Aku terkena demam. Aku mencoba untuk berdiri tapi sia-sia karena mual. Kuputuskan untuk tidur kembali. Saat mataku terpejam, aku merasakan ada tangan yang menempel di dahiku. Ya, beliau ibuku. Beliau membawa teh hangat, lalu menyuruhku untuk meneguknya hingga habis agar aku berkeringat. Setelah meneguk habis, aku memutuskan untuk istirahat.
Tak terasa saat aku bangun matahari akan kembali ke peraduannya. Suhu tubuhku sudah menurun. Aku mengamati langit-langit kamarku yang dipenuhi sticker bintang berwarna neon. Aku mengingat kejadian tadi malam, kuputuskan untuk membasuh muka dan makan. Setelah makan aku sayup-sayup mendengarkan obrolan ayah dan ibuku. “Sepetinya Rena tidak kuat melihatnya. Sekarang dia demam.”, kata ibuku. “Yasudah katakan padanya, kalau itu kembarannya. Sudah saatnya dia tahu.” “Ya, kembaran yang selalu berada di sisinya setiap saat.”, kata ibuku. Aku hanya menelan ludah dan merasa tengkukku dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar