Hujan
dan Bintang
Kau tahu
hujan? Hujan adalah moment yang paling menyenangkan.
Saat berlari di bawah hujan, kau akan merasakan dingin menyejukkan. Sangat
menyejukkan. Tidakkah kau merasa nyaman ketika hujan memeluk tubuhmu? Ketika
kau menangis, hujan akan mengusap air matamu. Hujan juga tak pernah menyebar
rahasiamu. Dia sangat setia, namun dia datang hanya sesaat. Tak heran, aku selalu
menanti kehadirannya, hanya sekedar melepas rindu maupun menceritakan seluruh
keluh kesahku padanya. Seperti anak kecil memang, namun bagaimana lagi aku
sangat suka hujan. Namaku Reinata Maulynda gadis pencinta hujan. Aku bekerja
sebagai pengantar koran, sederhana hanya untuk mengisi waktu luang sebelum
kuliah. Aku kuliah jurusan ekonomi tepatnya di Universitas Indonesia. Aku gadis
cerewet dan tomboy. Temanku dominan laki-laki. Aku sering battle game dengan sahabatku Ade, Adesan Prayoga. Sahabat sejak SMA
dulu, dia lelaki yang berjambul badai. Dia memiliki lesung pipi, matanya sipit
dan bibirnya yang tipis. Memiliki kesan eksotis jika dipandang. Wajar saja aku
gadis normal.
Pagi itu, aku
harus mengantar koran ke beberapa kompleks perumahan. Di kompleks 3C, tepatnya
di rumah nomor 23, ada sebuah motor gede yang tiba-tiba muncul dari teras dan
melaju sangat kencang ke arahku. Dia memakai helm teropong yang kacanya
gelap. Aku yang kaget tidak bisa
menghindarinya dan parahnya aku terguling ke trotoar yang bahan utamanya dari
batu taman. Akibatnya, tangan dan lutut kaki kiriku tergores hingga menimbulkan
bercak darah dan lebam merah keunguan. Aku hanya bisa meringis dan berusaha
duduk di trotoar. Kulihat sepeda ku terguling dan koran-koran berhamburan. Dari
ekor mataku aku menyadari ada seseorang yang berjalan ke arahku. Aku
melihatnya, dia lelaki berwajah coklat dan memasang raut muka bingung. Dia
membenarkan letak sepedaku dan mengambil koran-koran yang berhamburan. Dia
menawarkan bantuan setelah mengatakan bahwa rumahnya berada tepat di belakangku.
Dengan sungkan aku menerima bantuannya, dia membantu mengobati lukaku dan membalutnya
dengan kassa. Setelah beres dengan luka, dia mengambil segelas air putih untuk
menenangkanku. Dia berkata bahwa dia sering melihatku mengirim koran tapi yang
menerima selalu satpamnya. Dia memperkenalkan diri, “Hmm.. Namaku Reno. Reno
Dirmaga, kamu?” aku menjawab seraya menjabat tangannya, “ Rein. Reinata
Maulynda” dia tersenyum, lalu bertanya apakah salah satu dari koran yang
berhamburan tadi adalah korannya. Aku hanya menggeleng, sebab koran yang tadi
jatuh sudah kotor dan tak pantas dijual kepada pelanggan. “Koran ini tidak
pantas di jual. Lihat saja, dia terkena cipratan air dan sedikit lusuh.” Dia menatap
ke keranjang sepedaku, “Benar saja, lalu mau kau apakan koran ini?” tanyanya
sambil menautkan alis. “Mungkin nanti uangnya kuganti dan tidak mengirim koran
untuk hari ini.” Jawabku sambil mengedikkan bahu. Dia hanya manggut-manggut.
Setelah menghabiskan segelas air putih aku berpamitan untuk pulang. Saat kucoba
berdiri, lututku terasa nyeri. Reno menyadari hal itu lalu memegang lenganku,
“Kau yakin akan pulang dengan keadaan seperti ini?” aku hanya mengangguk sambil
memegangi pahaku. Dia menuntunku ke terasnya, tak lupa aku mengucapkan
terimakasih atas bantuannya. Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan seraya
mengucapkan hati-hati.
Langit hitam
telah tiba, bintang bertaburan merata. Bulan dengan percaya diri menampakkan
cahaya terangnya. Aku duduk di ayunan sambil memandang langit. Seperti
kebiasaan Ade ketika bintang bertaburan. Mataku menerawang kejadian tadi pagi.
Saat Reno memberi bantuan kepadaku. Sangat manis. Jantungku berdegup kencang,
lengkungan tipis membentuk di bibirku. Aku tersadar dan menggeleng, kenapa
harus dia yang aku bayangkan. Tidak, tidak kamu baru kenal tadi pagi Rein.
Ponselku bergetar tanda ada pesan, kulihat layar refleks aku tersenyum. Ade. Dimana, R? Tanyanya, dengan cepat aku
menjawab. Di singgasana menanti pangeran
berkuda datang. Terkirim. Tak ada semenit dia membalas. Dasar jomblo. Pangeran berkuda otewe, R. Aku hanya tersenyum dan meletakkan
ponselku. Memandang langit lagi, entah mengapa aku seperti memandangnya.
Terlihat dekat namun terasa jauh. Sebenarnya aku memendam perasaan pada Ade
sejak pertama masuk SMA. Kesannya dingin, cuek dan macho. Tapi sayang dia sudah
memiliki pujaan hati yang lebih menarik dari seorang penjual koran. Dia menjadi
sahabat yang lucu, kocak dan sangat peduli. Saat aku asik membayangkannya,
tiba-tiba ada tangan yang dingin menutup mataku. Harum daun mint menyeruak di
hidungku. Tentu saja tanpa harus bertanya aku tahu siapa dalang dari semua ini.
“Ade, lepasin gih.” Dia hanya tertawa lalu duduk di sebelahku, sambil
memberikan kantong plastik. Martabak manis, aku sangat suka martabak manis. Aku
tersenyum, “Terimakasih, De.” Dia hanya mengangguk lalu memandang ke arah
langit. Seharusnya aku sadar, hujan dan bintang tak akan hadir bersamaan.
Di lain sisi,
Ade juga menyimpan sebuah rahasia besar. Menyimpan perasaan kepada gadis
pujaannya. Dia selalu menceritakannya kepada Rein. Namun, Rein tak pernah sadar
topik pembicaraan mereka adalah dirinya sendiri. Ade bingung, dia harus mengode
bagaimana lagi. Dia sudah menjelaskan deskripsi tentang gadis pujaannya itu. Persis dengan apa yang
ada pada diri Rein. Namun, Rein tak pernah menyadari itu. Ade selalu menghela
nafas pelan setelah bercerita. Dia melihat seorang gadis mungil duduk di ayunan
belakang sambil memandang ke arah langit yang memang sedang bertabur bintang. Ade
suka sekali pada bintang, mengingatkan pada seseorang di masalalunya. Ade
menghela nafas lalu menghampiri Rein. Ade menutup matanya dengan satu tangan. Satu tangan lagi memegang kantong
plastik yang berisi martabak manis, Rein sangat suka dengan martabak manis. Aroma
vanilla tercium saat Rein berada di dekatnya. ”Ade, lepasin gih.” Ade hanya tersenyum
lalu duduk di sebelah Rein dan memberikan kantong plastik tadi. “Terimakasih,
De” ucap Rein sambil tersenyum. Ade yang melihat senyumnya, aku tersenyum dan
mengangguk. Ade memandang langit hitam. Moment
menyenangkan adalah memandang langit yang sedang bertabur bintang ditemani
gadis mungil yang ada di sisiku saat ini, batin Ade. Jam delapan lebih
seperempat, Ade pamit pulang. Rein mengantarnya ke teras dan menutup pintu.
Rein berbaring di kasurnya. Setelah beberapa menit, dia tertidur pulas.
Tiga minggu
berlalu, aku kembali mengantarkan koran. Tetap ke beberapa kompeks. Tepat di
depan rumah nomor 23, berdiri seorang laki-laki yang melambaikan tangan dan
tersenyum lebar kepadaku. Aku balas
melambaikan tangan kepadanya, akhir-akhir ini aku dan Reno semakin dekat. Tepat
aku berhenti di depannya, dia mengucapkan selamat pagi. Aku menjawab sambil
memberikan koran, setelah itu aku pamit. Hanya dibalas dengan senyuman.
Akhir-akhir ini kami sering ngetrip, kita
suka suhu dingin dan suka air. Menurutku air itu sumber penenang. Saat aku
bercerita tentang Reno, Ade langsung mendadak diam. Dia memang cuek, kecuali
dengan orang terdekatnya. Malah sangat cerewet. Aku bingung, padahal Ade juga
sering bercerita tentang gadis pujaannya yang entah namanya siapa. Dan kudengarkan sampai selesai, walau hatiku tersayat. Tapi saat aku bercerita
tentang Reno, dia malah cuek dan tak acuh. Padahal Reno adalah teman baruku.
Sebulan
berlalu, aku semakin sering mengunjungi air terjun, pantai dan mendaki gunung
bersama Reno. Juga semakin dingin sikap Ade padaku, entah apa alasannya. Dia
juga jarang mengunjungiku. Aku semakin bingung padanya. Sore itu, aku tak tahan
untuk menanyakan apa yang salah dengan sikap Ade. Aku menuju rumahnya dan
menyapa pak Tono. Tanpa mengetuk pintu aku membukanya, seperti biasa. Saat
kubuka, disana Ade memunggungiku dan sedang bermesraan dengan gadis lain. Entah
mereka melakukan apa yang jelas saling berhadapan. Saking asiknya, Ade tak
menyadari kehadiranku. Si wanita tadi melihat ke arahku, begitu juga Ade. Aku
tak sadar airmataku sudah banjir di pipiku. Aku berbalik badan, mengelap kasar
airmataku dan berlari begitu saja tanpa menghiraukan tariakan pak Tono
begitupun teriakan Ade. “Rein, kamu salah
paham.” Salah paham katanya, jelas dia menikmatinya, dia bilang salah
paham, cih. Jadi ini alasan dia menghindar,
karena pujaan hatinya sudah didapatkan. Aku terus berlari sedikit lagi sampai. Bodoh, kenapa kau menangis di depannya.
Bagaimana kalau dia tahu kalau kau suka padanya? Dasar Rein bodoh, batinku.
Saat aku sampai di depan rumah kulihat Ade tetap berlari. Aku membuka gerbang
dan membuka pintu rumah, menutupnya dengan kasar. “Ada apa atuh non?” kata bik
Ipah dengan raut wajah bingung. Aku hanya berlari ke kamarku. “Kalau ada Ade
jangan ijinin masuk bik!” teriakku lalu membanting pintu dan merebahkan diri di
kasurku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ade
tergopoh-gopoh membuka pintu rumah Rein, namun dihalangi oleh bik Ipah. “Bik,
Rein di dalam kan? Saya mau ngomong bentar, bik” “Tapi den, non Reinnya lagi
gak mau diganggu.” “Bentar aja, bik. Saya mau jelasin semuanya.” “Den sama non
lagi tengkar ya?” “Bukan bik, Reinnya salah paham.” “Tapi den, den tahu
sendirilah kalo non Rein gak mau diganggu ya gak mau.” “Iyasih bik, tapi gimana
jelasinnya. Nanti dikira aku gak ada usaha lagi.” “Yaudah nanti aja kalo non
Rein udah agak baikan, baru den datang kesini jelasin semuanya” “Yaudah lah
bik, nitip Rein ya.” Setelah itu Ade pamit pulang dan berjalan ke arah rumahnya
sambil melamun. Tak sadar di depannya ada pengendara mobil yang mabuk menyetir
dengan ugal-ugalan. Semenit sebelum kejadian dia sadar dan berteriak sambil
menutup matanya. BRAAAAKKK.. Rein merasa mendengar teriakan Ade, tapi tak mungkin lah dia tadi sayup-sayup mendengar
obrolan Ade dengan bik Ipah. Matanya berat karena menangis cukup lama. Akhirnya
dia tertidur.
Malamnya tepat
jam tujuh lebih tiga aku terbangun. Ade hadir di mimpiku. Namun, dia jatuh ke
jurang. Mungkin ini efek kejadian tadi sore. Aku mungkin terlalu egois karena
tidak mendengarkan penjelasannya. Aku pergi mandi dan akan bergegas ke rumah
Ade. “Eh, non udah bangun. Cepetan ke rumah sakit gih non, tadi den Ade
ketabrak mobil setelah pamit darisini.” DEG. Berarti tadi bener terikan Ade.
Aku langsung mengambil jaket dan bertanya dengan tegesa-gesa “Dimana rumah
sakitnya, bik?” “Di Husada Bunda atuh, neng. Jangan keburu-buru atuh.” “Yaudah
bik pamitin ke mama ya” aku langsung berlari masuk mobil tapi masih terdengar
teriakan bik Ipah, “Hati-hati, non. Gak usah kebut-kebutan.”
Aku mamakirkan
mobilku, berlari kecil menuju resepsionis dan bertanya di mana ruangan pasien
yang bernama Adesan Prayoga. Dia bilang dia masih dirawat di UGD. Dan masih
ditangani oleh dokter. Aku berlari ke UGD dan menabrak beberapa orang yang ada
di depanku. Dari kejauhan aku melihat ruang tunggu, di sana terlihat
seorang wanita duduk. Wanita itu adalah
wanita yang tadi berada di rumah Ade. Dia menyadari kehadiranku, menatap
sejenak lalu tersenyum manis. Aku hanya tersenyum sinis dan berjalan menuju
pintu. Di sana terlihat seorang pria terkapar lemah dan dikelilingi oleh
beberapa orang berseragam putih. Tak terasa airmataku menggenang. Wanita tadi
memegang pundakku, aku menepisnya kasar. Dia terlonjak kaget lalu dia
menjelaskan bahwa dia adalah saudaranya Ade. Aku refleks menoleh ke arahnya
dengan mulut sedikit menganga. Dia tersenyum tipis lalu bercerita. Aku
mendengarkan dengan ditemani tangisanku. Setelah bercerita aku hanya menunduk.
Ini semua salahku. Wanita tadi bernama Kenarya Dirmaga. Kakak dari Reno.
Ternyata Reno dan Ade adalah saudara. Tapi mengapa Ade selalu malas
mendengarkan curhatanku tenatang Reno.
Dua jam
berlalu, dokter keluar dari ruangan dengan dahi yang basah. Lalu aku dan kak
Kena berdiri dan menanyakan bagaimana kabar Ade. Dokter menjelaskan bahwa Ade
akan sadar beberapa jam lagi, dia hanya butuh istirahat. Kepalanya terbentuk
cukup keras. Aku melihat ke arah Ade yang terbaring lemas. Dokter mengijinkan
kami untuk masuk asalkan tidak membuat keributan. Aku mengelus pelan pipinya.
Dia terlihat tenang. Aku tak tahan melihatnya lemah seperti ini, setetes air
mataku jatuh. Lama-lama makin deras, bahuku naik turun. Kak Kena mengelus
pundakku lembut. Aku berbalik dan menangis di pelukannya. Tercium aroma tanah
dan aku kenal sebentar lagi akan turun hujan. Aku manghapus air mataku dan beranjak ke jendela. Terlihat gerimis
datang dengan tenang. Jendela mulai mengembun tipis, aku memegang jendela.
Dingin. Dingin yang kurasa. Hujan mulai datang dengan deras. Air mataku turun
lagi. Untuk pertama kali aku tak suka hujan.
Aku duduk di
sisi ranjang Ade dengan kepala bertumpu pada kedua lenganku. Mataku terfokus
pada wajahnya. Kenapa dia tak kunjung membuka mata. Sekarang sudah jam sebelas
lewat tiga. Lama-lama mataku berat dan aku tertidur. Terasa ada tangan yang memegang
pipiku lembut, kak Ken, pikirku.
“Rein.” Suara berat ini aku kenal, tidak mungkin aku hanya mimpi. “Rein.” Lagi,
suara itu muncul lagi. Aku membuka mata dan melihat ada tangan yang memegang
pipiku. Aku memegang tangan iku, seiring dengan mengangkat kepalaku.
Kesadaranku tiba-tiba penuh.”Ade, kau sudah sadar” teriakku sambil memeluknya.
Ade meringis kesakitan, “Kau memelukku terlalu erat, R.” Aku hanya memint maaf
dan memencet saklar. Kak Kena bangun sambil mengucek mata, “Maaf aku sudah
membangunkan kakak.” Dia melihat ke arah Ade, lalu tersenyum lebar “Kau sudah
bangun, De” dia lalu menghambur memeluk Ade, “Aduh kak, sakit” erang Ade. Dokter datang lalu
memeriksa keadaan Ade. Setelah itu dokter menjelaskan bahwa besok siang Ade
sudah boleh pulang. Aku kegirangan. Dia menatap lembut tepat di bola mataku.
Aku salah tingkah lalu menunduk. “Ehem. Rasanya aku ingin buang air. Aku akan
ke kamar mandi sebentar.” Kata kak Kena. Setelah pintu tertutup, Ade
menggenggam tanganku. Aku menatapnya, dia tetap menatap bola mataku. Aku
tersipu. “Kenapa wajahmu merah? Apa pangeran kuda mebuatmu tersipu?” godanya.
Aku memukul lengannya pelan. Lalu mimiknya kembali serius, jantungku berdegup
sangat kencang. “Kamu salah paham, Rein.” Dia menyebutkan namaku, itu tandanya
dia benar-benar serius. Aku hanya menunduk. Aku
tahu, bodoh. Batinku. “Kau tahu dia adalah kakak dari Reno. Dia sangat baik
kepadaku. Sangat berbeda dengan Reno. Ya, lelaki itu sangat benci padaku. Dan
aku juga sangat benci padanya.” “Kenapa? Padahal dia saudaramu, kenapa kau tak
pernah cerita?”, potongku. “Dulu aku punya sahabat kecil yang bernama Naira.
Dia sepertimu, dia juga suka hujan. Dulu kami bertiga suka hujan. Suka
berlarian di bawah hujan. Sebelum kejadian itu terjadi.”, Ade bercerita sambil
matanya menerawang, dia menghembuskan nafasnya pelan lalu melanjutkan cerita,
“Saat itu kami main petak umpet di bawah hujan. Aku jadi yang jaga. Reno dan
Naira bersembunyi. Saat aku menghitung, satu,dua,tiga, terdengar suara sesuatu
yang jatuh. Aku menghentikan hitunganku dan berbalik. Kedua temanku sudah bersembunyi.
Saat aku hendak mencari, terdengar suara Reno yang berteriak. Aku berlari menemui Reno dan Naira. Reno
sudah menangis. Lalu aku bingung dan menyakan apa yang terjadi. Kau tahu apa
yang terjadi?” tanyanya kepadaku, aku hanya menggeleng. “Naira sudah jatuh ke
sungai dan dia tak bergerak sekalipun. Aku menanyakan kenapa bisa terjadi. Reno
berfikir lama, lalu menjawab bahwa Naira terpeleset. Aku tak curiga sedikitpun
sampai di pemakaman Naira. Reno terlepas omongan kepada teman-temanya. “Aku
mendorongnya ke sungai dengan tanganku, bagaimana? Aku hebat kan?” aku
mendengarnya lalu beranjak dari dudukku menghampirinya lalu memukul tepat di
pipinya. Dia bingung ,tak terima lalu aku berteriak “Kau pembunuh!” mukanya
langsung bingung dan dia membawaku menjauh. Dia menjelaskan bahwa dia
terinspirasi dari film dan ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa dia
hebat. Setelah kejadian itu aku muak pada Reno, dan mulai saat itu aku tidak
suka hujan. Aku pulang dan duduk di atap rumahku, langit bertabur bintang.
Bintang mengingatkanku pada Naira. Mulai saat itu aku suka melihat bintang. Dan
saat kau cerita tentang teman barumu yang bernama Reno aku muak mendengarnya. Dan
aku benar-benar muak setelah mengetahui bahwa Reno yang kau maksud adalah Reno
Dirmaga. Seorang pembunuh.” Dia terlihat emosi saat menyebutkan nama Reno.
“Jadi, gadis pujaanmu itu sahabat kecilmu yang bernama Naira itu?” tanyaku
dengan polos. Reno langsung berbalik menatapku, lalu tertawa lebar. “Sampai
kapan kau tidak peka, R? Gadis itu jelas gadis yang sedang menunggu pangeran
kudanya.” Jawabnya sambil senyum menggoda. Aku hanya tersipu. “Jadi?
Bagaimana?” tanyanya sambil menautkan alis. Aku hanya mengerutkan kening,
“Bagaimana apanya?”. Dia tersenyum lalu menarik nafas dalam-dalam, “Bagaimana apa
kau mau menjadi kekasih pangeran kudamu ini?” aku hanya tersipu tak langsung
menjawab. “Diam berarti jawaban iya.” Godanya sambil tersenyum. Lalu dia
memelukku.